Translate

Sekilas tentang Keterbukaan Pikiran

   Apr 4, '08 5:25 AM
untuk semuanya

Oleh: Bagus Takwin


“Pikiran seperti parasut, keduanya bekerja pada saat terbuka.” Begitu pernah Frank Zappa berseru dalam sebuah lagunya. Pikiran dan parasut sama-sama berfungsi untuk menyelamatkan manusia. Parasut digunakan manusia pada saat terjun, bisa terjun sebagai olah raga, atau sebagai cara menyelamatkan diri pada saat terjadi kecelakaan di udara. Pikiran menyelamatkan manusia dari kebingungan, dari kekacauan, dari bahaya-bahaya penggunaan informasi secara salah, menyelamatkan manusia dari berbagai macam kerugian, kenistaan dan keterbelakangan. Syarat bekerjanya parasut adalah keterbukaannya, hal ini mudah dimengerti dan sudah banyak yang tahu. Lalu mengapa syarat bekerjanya pikiran adalah keterbukaannya?
Berpikir adalah kegiatan mental yang dilakukan manusia untuk mengolah informasi, baik yang diperoleh dari lingkungan maupun yang sudah ada dalam benak. Pengertian kegiatan mental disini adalah berkerjanya elemen-elemen sistem syaraf manusia. Informasi adalah segala sesuatu yang dapat dipersepsi oleh manusia. Sedangkan kegiatan mengolah informasi meliputi meliputikegiatan menanggapi dan mencipta informasi. Dalam proses ini manusia menanggapi informasi yang dimilikinya, menafsirkan makna dan maksud informasi. mereka-reka pengaruh informasi itu terhadap dirinya, serta menimbang-nimbang seberapa jauh keterangan-keterangan yang dikandung informasi itu penting bagi dirinya dan orang lain. Kegiatan menanggapi informasi yang dimiliki tersebut seringkali menghasilkan satu informasi baru, dengan kata lain dalam kegiatan ini manusia menciptakan informasi baru. Informasi baru ini dapat berbentuk kesimpulan atau pertanyaan.
    Dari definisi tentang berpikir tersebut dapat disimpulkan bahwa berpikir harus selalu melibatkan informasi. Tanpa informasi, manusia tidak dapat berpikir. Semakin banyak informasi, semakin lancar kegiatan berpikir.Implikasinya, semakin manusia mampu menyerap informasi, semakin ia mampu berpikir dengan baik. Kemampuan menyerap informasi mensyaratkan adanya keterbukaan dalam benak (pikiran) manusia. Di sinilah letak kesamaan pikiran dengan parasut seperti yang disebut di awal tulisan ini.
Apa jadinya kalau pikiran tidak terbuka?
Kalau pikiran tidak terbuka, manusia masih dapat berpikir, namun kegiatan berpikirnya lebih menyerupai kegiatan instingtif pada hewan. Kegiatan berpikir yang dilakukannya cuma sekedar pengulangan dari yang sudah dilakukan olehnya dan nenek-moyangnya. Kalau manusia tidak dapat berpikir kecelakaan lebih mungkin terjadi. Tanpa berpikir manusia hanya mengandalkan insting. Ia tidak tahu bagaimana menemukan cara baru untuk menghindari bencana, mencegah terjadinya kecelakaan dan menangani akibat kecelakaan.

Seberapa Jauh Pikiran Manusia Dapat Terbuka?

“Dunia manusia adalah dunia terbuka” Begitu Enrst Cassirer menulis dalamAn Essay on Man. Dunia manusia adalah dunia yang mengandung ‘serba kemungkinan’. Berbagai kemungkinan dapat terjadi. Dengan ’serba kemungkinan’ manusia, dunia manusia terbuka terhadap kemungkinan apa saja. ‘Serba kemungkinan’ ini dapat terjadi karena manusia memiliki kemampuan mencipta dan menggunakan simbol-simbol —termasuk bahasa. Dengan kemampuannya menggunakan simbol, manusia dapat mengkomunikasikan ide-ide, pengalaman-pengalaman, dan pengetahuannya kepada manusia lain. Seorang manusia yang sudah pernah mengunjungi suatu tempat, dapat menceritakan pengalamannya berada di tempat itu kepada manusia lain yang belum pernah mengunjungi tempat tersebut. Pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat dikomunikasikan dengan orang lain sehingga dapat terjadi penyebaran dan pertukaran pengetahuan. Manusiapun dapat mengetahui berbagai hal tanpa harus langsung berhadapan dengan hal-hal itu.
Penyebaran dan pertukaran pengetahuan ini lebih berkembang lagi dengan ditemukannya tulisan. Budaya menulis menjadikan hasil karya manusia lebih tahan lama dan memiliki daya jangkau yang luas. Dengan tulisan, manusia dapat belajar dari pendahulu-pendahulunya. Mereka juga dapat belajar dari orang-orang lain yang jauh jarak fisiknya lewat tulisan. Manusia dapat saling menanggapi satu sama lain lewat tulisan. Dialog antar manusia dapat terjadi tanpa harus bertemu muka. Mereka dapat berkomunikasi lewat surat, buku, dan media tulis lainnya. Komunikasi pengetahuan, budaya, dan teknologi makin pesat dengan adanya tulisan.
Komunikasi manusia juga berkembang melalui media-media elektronik seperti TV, radio, telepon, dan internet. Keterbukaan dunia manusia semakin lebar dan ke-serba kemungkinan-nya pun semakin tinggi. Hal ini  makin menunjukkan bahwa “Dunia manusia adalah dunia yang terbuka.”
Sampai batas mana keterbukaannya? Hingga kini kemungkinan manusia untuk berkembang tetap ada. Tidak ada yang tahu sampai sejauh mana manusia dapat berkembang, tak ada yang tahu kemungkinan-kemungkinan apalagi yang akan jadi kepastian. Manusia terus membuka diri bagi berbagai kemungkinan baru, terus mengutak-atik dunianya.

Keterbukaan Pikiran sebagai Pemacu Kemajuan

Kemajuan yang dicapai manusia sekarang tidak diperoleh dalam waktu yang singkat. Kemajuan itu dicapai lewat berbagai usaha pemahaman terhadap alam, perilaku manusia, dan usaha-usaha manusia menemukan serta menciptakan hal-hal baru. Kemajuan itu dicapai melalui proses kerja yang panjang dan melibatkan begitu banyak orang. Dari sanalah manusia belajar. Ia belajar dari kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai manusia lain. Ia belajar dari lingkungan dan pengalaman orang lain. Hasil belajarnya itu nantinya akan digunakan sebagai bahan masukkan —paling tidak sebagai penggugah dan motivator— untuk menciptakan hal-hal yang baru. Dengan demikian tetap terjadi kemajuan dalam kehidupan manusia.
Untuk dapat belajar dari kemajuan yang telah dicapai, belajar dari lingkungan, dan pengalaman orang lain, manusia harus memiliki daya observasi dan daya serap terhadap informasi yang tinggi. Di sinilah keterbukaan pikiran sangat dibutuhkan. Dengan keterbukaan pikiran yang tinggi tingkat penerimaan terhadap informasi menajdi lebih tinggi. Dengan demikian kesiapan manusia untuk menerima pengetahuan-pengetahuan baru, contoh-contoh yang baik, alternatif solusi, dan berbagai rujukan lainnya, semakin tinggi.

Bagaimana Meningkatkan Keterbukaan Pikiran?

    Sering tidaknya seseorang terlibat dalam suatu permasalahan akan mempengaruhi pemahamannya terhadap permasalahan itu. Semakin sering seseorang terlibat dalam suatu permasalahan, semakin mendalam pemahamannya tentang permasalahan itu. Dengan pemahaman yang tinggi, ia makin mampu menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di seputar permasalahan tersebut, termasuk tentang cara-cara yang mungkin digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Ia juga mengerti intisari masalah dan prinsip-prinsip umum penyelesaian masalah. Dengan mengusai inti sari masalah dan prinsip-prinsip penyelesaiannya, ia dapat menemukan dan menciptakan cara yang tepat untuk menyelesaikannya. Ia juga mengerti bahwa cara yang ada hanyalah salah satu cara yang dapat digunakan sehingga tidak terpaku hanya pada satu cara saja. Ia dapat menggunakan cara lain yang dianggapnya tepat meskipun cara itu berbeda dengan cara orang kebanyakan.
Membaca karya sastra yang beragam dapat meningkatkan kompleksitas pikiran karena si pembaca akan berhadapan dengan berbagai kejadian yang digambarkan dalam karya-karya itu. Meskipun hanya sebatas kognisi dan afeksi, pembaca karya sastra mendapat pengalaman menyelami seluk beluk tokoh dan peristiwa dalam karya sastra yang dibacanya. Pembaca juga dimungkinkan berempati, bahkan bersimpati pada tokoh cerita. Di sini pembaca sangat dimungkinkan untuk mengambil peran tokoh cerita. Ia memiliki kesempatan untuk berpikir, merasa, dan menghayati dunia dengan menggunakan sudut pandang tokoh. Pengalaman yang memberi kesempatan pada seseorang untuk bertukar peran atau role-taking dengan orang lain yang memiliki latar belakang berbeda meningkatkan kemampuan seseorang dalam menilai suatu hal dari berbagai sudut pandang (Kohlberg, 1984). Dengan kemampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, ia dapat melihat berbagai alternatif pemecahan masalah yang dengan sendirinya meningkatkan kemampuannya memecahkan persoalan.
    Pengalaman dimana seseorang memiliki kesempatan untuk bertukar peran atau role-taking dengan orang lain yang memiliki latar belakang berbeda meningkatkan kemampuan seseorang dalam menilai suatu hal dari berbagai sudut pandang (Kohlberg, 1984). Untuk bisa berpikir kritis seseorang harus mampu melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang, termasuk dalam menilai sebuah informasi. Dengan kemampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, kemampuan berpikir kritis makin meningkat.
Secara umum, peningkatan keterbukaan pikiran selalu melibatkan komunikasi yaitu proses penyampaian ide, pikiran, dan keahlian suatu pihak kepada pihak lain. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian 4 dari buku ini tentang berpikir kritis, komunikasi mempercepat proses pemahaman nilai-nilai baru.Dalam komunikasi terjadi pertukaran informasi, masing-masing orang akan mencurahkan isi pikirannya kepada orang lain. Komunikasi yang efektif akan menghasilkan pengertian yang menyeluruh tentang pikiran dan perasaan seseorang. Merujuk pada Habermas, manusia memiliki pikiran intersubyektif berupa kemampuan untuk mengerti dan memahami pikiran dan perasaan  orang lain, mengerti apa yang diungkapkan orang lain. Dengan kemampuan berpikir intersubyektif yang baik seseorang dapat mengerti informasi-informasi dari orang lain dengan baik. Dengan demikian ia bisa mengetahui maksud sebenarnya dari informasi yang diterimanya itu. Ia mampu memahami mengapa seseorang mengemukakan suatu pendapat, apa yang melatar belakanginya dan untuk tujuan apa. Pemahamannya itu membuat memiliki pengetahuan tentang banyaknya pendapat yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki kemungkinan untuk benar. Hal ini membuat ia tidak kaku terhadap satu pendapat saja. Dengan pemahamannya ini ia terdorong untuk melakukan proses dialog setiap kali akan mengambil tindakan baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Hal ini akan meningkatkan keterbukaan pikirannya.
Kegiatan komunikasi yang dilakukan dalam diskusi, tanya-jawab, permainan-permainan yang melibatkan proses komunikasi, dan memberikan umpan balik kepada pendapat orang lain. Kegiatan terlibat dalam berbagai permasalahan, membaca  karya sastra, dan pengalaman bertukar peran mengandung kegiatan komunikasi di dalamnya.
Ketika terlibat dalam berbagai permasalahan terbina komunikasi antar orang yang ikut ambil bagian dalam penyelesaian masalah-masalah di dalamnya. Jika hanya satu orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah, paling tidak ia melakukan perujukkan pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, baik pengalamannya maupun pengalaman orang lain. Pada saat membaca karya sastra, secara psikologis si pembaca melakukan komunikasi dengan penulis dan tokoh-tokoh dalam karya itu. Dalam komunikasi harus ada hubungan yang sejajar antara peserta komunikasi. Kebebasan tiap peserta komunikasi harus ditegakkan untuk mencapai hasil yang diinginkan: keterbukaan pikiran.***


Kopas from: http://bagustakwin.multiply.com/journal  pada Feb 2013




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Triandis’ Theory of Interpersonal Behaviour

Tahap Help

Values for Community Psychology-Nelson